Syaikh Abdurrazzaq dan penjelasan tentang al jarh wa ta'dil
Tanya:
Apakah Syaikh Abdurrazzaq Al Badri masih berjalan diatas manhaj salaf?
Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Muawiyah Askary hafizhahullah
Sudah kita jawab, bahwa para ulama belum ada yang berbicara tentang beliau, na'am. Namun beliau seperti yang disebutkan oleh syaik Rabi' bahwa beliau مخدوع beliau tertipu oleh orang-orang yang mengajaknya, baik dari kalangan ihya'ut turots atau dari kalangan rodjaiyyun yang selalu memanfaatkan beliau. Sebab para ulama itu berbeda-beda, ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, apalagi dalam hal mengetahui makar-makar ahlul dholal hizbiyyah.
Terkadang sebagian ulama, diantara ulama as sunnah, namun dia tidak begitu memahami tentang apa yang berupa makar-makar yang ada pada ahlul dholal. Sehingga mereka berhusnudzon bahwa mereka ini diatas tauhid, secara dzahir diatas sunnah, dan mereka tidak mengetahui yang lebih dari itu sehingga mereka menganggap bahwa mereka ahlussunnah. Tidak mengetahui makar yang ada pada mereka, yang diketahui oleh para ulama yang lain. Oleh karena itu, dalam hal apa saja dan dalam setiap perselisihan para ulama, dalam menyikapi sebuah kelompok, atau dalam menyikapi orang per orang. Seorang harus melihat kepada yang pertama yang berbicara itu dari kalangan ahliyah, lahu ahliyah, memiliki keahlian dalam ilmu tersebut. Dalam hal ini ilmu al jarh wa ta'dil.
Kemudian yang kedua, hujjah yang merkea miliki, sehingga ketika terjadi khilaf antara yang mencerca dengan yang memuji, maka dilihat apakah yang mencerca ini termasuk diantara mereka yang memiliki keahlian, lahu ahliyatu jarh wa ta'dil, diakui oleh para ulama, na'am. Jika demikian, maka ucapannya teranggap, mu'tabar. Apalagi ketika dia memiliki hujjah, maka disini para ulama menggunakan kaidah al alim hujjah 'ala man la ya'lam, yang berilmu itu hujjah terhadap orang yang tidak memiliki ilmu tentangnya.
Kalau kita memahami ini, ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, maka hal yang ringan bagi kita untuk menyikapi segala sesuatu. Para ulama yang memiliki keahlian dalam jarh wa ta'dil itu jangan dianggap bahwa mereka berbicara dari sesuatu yang berasal dari hal yang kosong, tanpa ilmu, tanpa hujjah, na'am. Ini merupakan bentuk iftikhar, merendahkan para ulama, ulama al jarh wa ta'dil, ulama al jarh wa ta'dil. Dari dulu terjadi perselisihan, baik dalam menyikapi Abdurrahman Abdul Khaliq, Abdurrahman ABdul Khaliq, sebelum itu bahkan, Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, ketika para ulama bangkit menjelaskan tentang kesesatan mereka, ada saja yang membela, yang mereka dinisbatkan pula sebagai ulama.
Nah, ketika terjadi khilaf, apakah kita mengatakan:
"Ya sudah, kalau terjadi khilaf terserah kita, berarti masalah-masalah ijtihad"
Ini kaidah darimana dan metode darimana yang seperti ini? Ini kaitannya dengan ilmu al jarh wa ta'dil, kembalinya kepada ilmu dan kaidah-kaidah al jarh wa ta'dil yang telah diterapkan oleh para ulama dari jaman para ulama as salaf, dari jaman para ulama as salaf. Ketika mereka menyikapi sebuah hadits, misalnya. Ada satu hadits yang kemudian ada seorang perawi yang dibicarakan, ada seoarang perawi yang dibicarakan. Si Fulan mutakalam, antara yang menjarh dan yang menta'dil. Yang pertama dilihat, yang menjarh ini punya keahlian tidak? Apakah dia termasuk diantara aimatu jarh wa ta'dil atau tidak?
Kalau dia bukan dari imam jarh wa ta'dil, qouluhu ghoiru mu'tabar. Kadang-kadang ada yang menjarh, dia sendiri majruh. Dia sendiri cacat, bagaimana dia mencacati orang lain? Tidak bisa! Dia cacat, dia sendiri dhaif, bagaimana dia akan mendhaifkan yang lain? Sehingga ucapannya tidak teranggap. Namun kalau dia dikatakan imam al jarh wa ta'dil, para ulama menganggap ucapan tersebut. Ucapannya mu'tabar, bahkan terkadang meskipun mereka tidak mendatangkan hujjah, dalam artian kita tidak mengetahui hujjahnya. Ucapannya mu'tabar tetap diamalkan, tetap diamalkan.
Dan banyak sekali dalam kitab-kitab jarh wa ta'dil, jarh para ulama terhadap perawi-perawi itu tidak disertai dengan bayan, tidak disertai dengan perincian. Namun para ulama tetap mengamalkan ucapan mereka. Terlebih lagi ketika mereka menyebutkan hujjah, ketika mereka menyebutkan hujjah. Maka ini lebih kuat lagi, dan dibawalah kaidah bahwa yang berilmu yang mengetahui tentang kondisi orang ini didahulukan ucapannya daripada yang memuji, daripada yang mentazkiyah. Tinggal kita terapkan pada zaman kita sekarang.
Yang membela Abdurrahman Abdul Khaliq, kenapa mereka membela? Karena mereka tidak mengetahui tentang kesesatan Abdurrahman Abdul Khaliq. Para ulama yang lain, yang menerangkan tentang penyimpangannya, menerangkan tentang kesesatannya, mereka bersama hujjah, na'am. Sehingga didahulukan ucapan mereka, dan begitu seterusnya. Wajib bagi kita ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, husnudzon kepada aimatu al jarh wa ta'dil, ini agama kita. Bukan taqlid, ini seringkali seorang tidak memahami perbedaan antara taqlid dengan ittiba' atau qabul khabar tsiqah, menerima kabar tsiqah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Kalau dia fasik, pemahamannya kata para ulama, kalau yang datang membawa berikta kepadamu adalah seorang yang tsiqah, maka wajib untuk diterima. Itu bukan taqlid, itu bukan taqlid! Menerima apa yang datang dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam bukan taqlid. Menerima berita yang datang dari para sahabat bukan taqlid. Menerima hukum-hukum para imam-imam al jarh wa ta'dil "si Fulan dhaif" "si Fulan matruk" "si Fulan ditinggal haditsnya", itu bukan taqlid. Menerima perkataan para aimah dahulu, demikian pula pada zaman sekarang. Yang menghukumi Usamah bin Ladin itu khawarij, Abdurrahman Abdul Khaliq itu mubtadi', Abu Ishaq Al Huwaini itu mubtadi', Muhammad Al Arifi itu mubtadi', dan seterusnya itu adalah mengikuti hujjah. Menerima khabar tsiqat dari aimah, na'am
Oleh karena itu, ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, jangan tertipu dengan ucapan-ucapan manis yang kadang-kadang mengesankan bahwa ahlussunnah atau salafiyin taqlid buta. Menganggap perkataan syaikh Rabi' itu wahyu katanya. Darimana? Na'am, ini ma'asyaral ikhwah rahimakumullah.
Download Audio disini
Apakah Syaikh Abdurrazzaq Al Badri masih berjalan diatas manhaj salaf?
Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Muawiyah Askary hafizhahullah
Sudah kita jawab, bahwa para ulama belum ada yang berbicara tentang beliau, na'am. Namun beliau seperti yang disebutkan oleh syaik Rabi' bahwa beliau مخدوع beliau tertipu oleh orang-orang yang mengajaknya, baik dari kalangan ihya'ut turots atau dari kalangan rodjaiyyun yang selalu memanfaatkan beliau. Sebab para ulama itu berbeda-beda, ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, apalagi dalam hal mengetahui makar-makar ahlul dholal hizbiyyah.
Terkadang sebagian ulama, diantara ulama as sunnah, namun dia tidak begitu memahami tentang apa yang berupa makar-makar yang ada pada ahlul dholal. Sehingga mereka berhusnudzon bahwa mereka ini diatas tauhid, secara dzahir diatas sunnah, dan mereka tidak mengetahui yang lebih dari itu sehingga mereka menganggap bahwa mereka ahlussunnah. Tidak mengetahui makar yang ada pada mereka, yang diketahui oleh para ulama yang lain. Oleh karena itu, dalam hal apa saja dan dalam setiap perselisihan para ulama, dalam menyikapi sebuah kelompok, atau dalam menyikapi orang per orang. Seorang harus melihat kepada yang pertama yang berbicara itu dari kalangan ahliyah, lahu ahliyah, memiliki keahlian dalam ilmu tersebut. Dalam hal ini ilmu al jarh wa ta'dil.
Kemudian yang kedua, hujjah yang merkea miliki, sehingga ketika terjadi khilaf antara yang mencerca dengan yang memuji, maka dilihat apakah yang mencerca ini termasuk diantara mereka yang memiliki keahlian, lahu ahliyatu jarh wa ta'dil, diakui oleh para ulama, na'am. Jika demikian, maka ucapannya teranggap, mu'tabar. Apalagi ketika dia memiliki hujjah, maka disini para ulama menggunakan kaidah al alim hujjah 'ala man la ya'lam, yang berilmu itu hujjah terhadap orang yang tidak memiliki ilmu tentangnya.
Kalau kita memahami ini, ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, maka hal yang ringan bagi kita untuk menyikapi segala sesuatu. Para ulama yang memiliki keahlian dalam jarh wa ta'dil itu jangan dianggap bahwa mereka berbicara dari sesuatu yang berasal dari hal yang kosong, tanpa ilmu, tanpa hujjah, na'am. Ini merupakan bentuk iftikhar, merendahkan para ulama, ulama al jarh wa ta'dil, ulama al jarh wa ta'dil. Dari dulu terjadi perselisihan, baik dalam menyikapi Abdurrahman Abdul Khaliq, Abdurrahman ABdul Khaliq, sebelum itu bahkan, Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, ketika para ulama bangkit menjelaskan tentang kesesatan mereka, ada saja yang membela, yang mereka dinisbatkan pula sebagai ulama.
Nah, ketika terjadi khilaf, apakah kita mengatakan:
"Ya sudah, kalau terjadi khilaf terserah kita, berarti masalah-masalah ijtihad"
Ini kaidah darimana dan metode darimana yang seperti ini? Ini kaitannya dengan ilmu al jarh wa ta'dil, kembalinya kepada ilmu dan kaidah-kaidah al jarh wa ta'dil yang telah diterapkan oleh para ulama dari jaman para ulama as salaf, dari jaman para ulama as salaf. Ketika mereka menyikapi sebuah hadits, misalnya. Ada satu hadits yang kemudian ada seorang perawi yang dibicarakan, ada seoarang perawi yang dibicarakan. Si Fulan mutakalam, antara yang menjarh dan yang menta'dil. Yang pertama dilihat, yang menjarh ini punya keahlian tidak? Apakah dia termasuk diantara aimatu jarh wa ta'dil atau tidak?
Kalau dia bukan dari imam jarh wa ta'dil, qouluhu ghoiru mu'tabar. Kadang-kadang ada yang menjarh, dia sendiri majruh. Dia sendiri cacat, bagaimana dia mencacati orang lain? Tidak bisa! Dia cacat, dia sendiri dhaif, bagaimana dia akan mendhaifkan yang lain? Sehingga ucapannya tidak teranggap. Namun kalau dia dikatakan imam al jarh wa ta'dil, para ulama menganggap ucapan tersebut. Ucapannya mu'tabar, bahkan terkadang meskipun mereka tidak mendatangkan hujjah, dalam artian kita tidak mengetahui hujjahnya. Ucapannya mu'tabar tetap diamalkan, tetap diamalkan.
Dan banyak sekali dalam kitab-kitab jarh wa ta'dil, jarh para ulama terhadap perawi-perawi itu tidak disertai dengan bayan, tidak disertai dengan perincian. Namun para ulama tetap mengamalkan ucapan mereka. Terlebih lagi ketika mereka menyebutkan hujjah, ketika mereka menyebutkan hujjah. Maka ini lebih kuat lagi, dan dibawalah kaidah bahwa yang berilmu yang mengetahui tentang kondisi orang ini didahulukan ucapannya daripada yang memuji, daripada yang mentazkiyah. Tinggal kita terapkan pada zaman kita sekarang.
Yang membela Abdurrahman Abdul Khaliq, kenapa mereka membela? Karena mereka tidak mengetahui tentang kesesatan Abdurrahman Abdul Khaliq. Para ulama yang lain, yang menerangkan tentang penyimpangannya, menerangkan tentang kesesatannya, mereka bersama hujjah, na'am. Sehingga didahulukan ucapan mereka, dan begitu seterusnya. Wajib bagi kita ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, husnudzon kepada aimatu al jarh wa ta'dil, ini agama kita. Bukan taqlid, ini seringkali seorang tidak memahami perbedaan antara taqlid dengan ittiba' atau qabul khabar tsiqah, menerima kabar tsiqah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
"Apabila orang fasik datang kepada kalian membawa sebuah berita, maka telitilah" (QS Al-Hujuraat: 6)Kalau dia fasik, pemahamannya kata para ulama, kalau yang datang membawa berikta kepadamu adalah seorang yang tsiqah, maka wajib untuk diterima. Itu bukan taqlid, itu bukan taqlid! Menerima apa yang datang dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam bukan taqlid. Menerima berita yang datang dari para sahabat bukan taqlid. Menerima hukum-hukum para imam-imam al jarh wa ta'dil "si Fulan dhaif" "si Fulan matruk" "si Fulan ditinggal haditsnya", itu bukan taqlid. Menerima perkataan para aimah dahulu, demikian pula pada zaman sekarang. Yang menghukumi Usamah bin Ladin itu khawarij, Abdurrahman Abdul Khaliq itu mubtadi', Abu Ishaq Al Huwaini itu mubtadi', Muhammad Al Arifi itu mubtadi', dan seterusnya itu adalah mengikuti hujjah. Menerima khabar tsiqat dari aimah, na'am
Oleh karena itu, ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, jangan tertipu dengan ucapan-ucapan manis yang kadang-kadang mengesankan bahwa ahlussunnah atau salafiyin taqlid buta. Menganggap perkataan syaikh Rabi' itu wahyu katanya. Darimana? Na'am, ini ma'asyaral ikhwah rahimakumullah.
Download Audio disini