Hukum pungutan biaya
Tanya:
Afwan ustadz, di kampung kami diadakan pungutan untuk perbaikan jalan dan kemanan tanpa sepengetahuan RT. Hanya musyawarah beberapa warga, tidak semua warga yang dipungut iuran dalam acara tersebut. Dan besarnya pungutan tersebut telah ditentukan, dan memberatkan sebagian orang. Pungutan tersebut katanya tidak dipaksa, tapi orang yang tidak membayar tetap ditagih. yang ingin kami tanyakan, bagaimana hukum pungutan tersebut? Apakah bersalah orang yang tidak mampu membayar? Mohon nasehat dan bimbingannya. Jazakallahu khoiron.
Jawab:
Oleh Ustadz Askari hafizhahulloh
Allah subhanahu wata'ala, hukumnya adalah yang paling adil. Allah subhanahu wata'ala maha adil. Oleh karena itu, Allah tabaraka wata'ala tidak menetapkan hukum zakat untuk semua kaum muslimin. Namun ada kriteria tertentu, apabila telah mencapai nishab, dan bertahan selama haul, selama setahun. Adapun yang tidak mencapai hartanya kepada jumlah tersebut, tidak ada kewajiban zakat bagi dia. Dan termasuk diantara kasih sayang Allah subhanahu wata'ala kepada hambanya, dimana Allah subhanahu wata'ala tidak mewajibkan seluruh kaum muslimin harus menunaikan ibadah haji. Namun menunaikan ibadah haji bagi yang memiliki istitha'ah (kemampuan). Termasuk diantaranya adalah kemampuan bekal untuk melakukan perjalanan ke sana.
Sehingga, ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, yang wajib apabila seorang menganjurkan seorang untuk bershadaqah, atau mungkin dengan sebutan iuran, sikap yang adil adalah masing-masing sesuai dengan keadaannya, masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Yang terpenting adalah targhib, berikan dorongan kepada mereka, keutamaan ta'awun, kerja sama dalam kebaikan, dalam ketaqwaan kepada Allah subhanahu wata'ala. Adapun memaksakan sesuatu yang Allah subhanahu wata'ala tidak pernah memaksakan kepada hamba-hambanya, maka dikhawatirkan ini adalah dhulum (kedholiman). Oleh karena itu, rasul shallallahu 'alaihi wa'alaalihi wasallam mengingkari perbuatan para penguasa yang mengambil harta rakyatnya tanpa hak, bukan sebagai zakat yang diwajibkan. Entah dengan nama apa, atau riba, atau pajak, dan yang semisalnya.
Kata nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا
Sesungguhnya kalian akan melihat, setelahku itu akan muncul أَثَرَةٌ, yakni penguasa-penguasa yang mereka lebih mementingkan diri mereka dan merampas harta rakyatnya, merampas hak rakyatnya. (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim).
Maka ini kedholiman ma'asyarak ikhwah rahimakumullah. Yang wajib, yang namanya ta'awun adalah sesuaikan dengan keadaannya, dan seorang hanya mampu mentarghib. Oleh karena itu nabi shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam pada saat beliau menganjurkan kepada para sahabat untuk bershadaqah atau untuk membantu seseorang yang membutuhkan, beliau tidak mematok kamu harus bayar sekian, kamu harus bayar sekian, kamu harus bayar sekian. Yang ada dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam targhib (anjuran), siapa yang mampu.
Hadits yang masyhur, ketika salah seorang sahabat membawa shadaqah dalam jumlah yang banyak, maka nabi shallallahu 'alaihi wasallam memujinya, lalu beliau mengatakan:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka." (HR. Muslim no 1016)
Barangsiapa yang memulai sunnah yang baik, diikuti oleh yang lainnya, maka dia mendapatkan pahala. Demikian pula dia mendapatkan pahala ketika ada yang mengikuti amalannya, terus seperti itu sampai hari kiamat tanpa mengurangi pahala orang-orang yang beramal kebaikan.
الدال على الخير كفاعله
Barangsiapa menunjukkan pada kebaikan, maka dia sama seperti orang yang melakukannya. (Disahihkan oleh syeikh al-Albani dalam shahiihul jaami’)
Namun kondisi masyarakat mungkin berbeda-beda, ada yang penghasilannya masya Allah di atas. Dan itu hal yang ma'ruf di kalangan manusia itu sendiri, yakni mereka mengukur kemampuan seorang. Ada kalangan elit di atas, ada kalangan menengah, ada kalangan bawah. Itu hal yang ma'ruf, maka untuk menyamaratakan mereka semua, boleh jadi bagi orang kaya, itu adalah hal yang ringan. Orang kaya nyumbang seratus juta ringan, uangnya triliun. Nyumbang seratus juta, terlalu ringan. Sementara orang yang di kalangan bawah, mengeluarkan satu juta itu luar biasa beratnya. Mencari penghasilan sebulan, lima ratus ribu mungkin berat baginya, apalagi untuk mengeluarkan satu juta, berat.
Sehingga ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, ketika sesuatu yang sifatnya ta'awun jangan menentukan kadarnya harus sekian. Kalau tidak, diboikot, misalnya atau dikasih sangsi hukuman dan yang semisalnya, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu ta'ala a'lamu bishawab.
Download Audio disini