Apakah rumah, tanah dan harta yang mencapai nishab terkena zakat
Tanya:
Afwan ustadz, ana mau tanya. Apabila ana mempunyai tanah, rumah, dan harta yang apabila dihitung dengan nilai emas, telah mencapai nishab, apakah wajib dikeluarkan zakatnya? Jazakallaahu khoiron.
Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah
Wa anta jazakallaahu khoiron. Ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, yang perlu kita ketahui dalam permasalahan zakat, bahwa asal hukum harta seorang muslim adalam haram untuk diambil kecuali dengan cara yang haq. Kecuali dengan cara yang haq, maka tidak diperbolehkan mewajibkan pada harta seorang muslim, bahwa di dalam harta tersebut terdapat zakat kecuali dengan dalil. Karena permasalahan zakat, masalah ibadah. Dan ibadah hukumnya tauqifiyah, tidak menetapkan pada suatu harta terdapat padanya zakat kecuali dengan dalil dari kitabullah dan dari sunnah rasul shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam.
Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya, maka ini menyebabkan seorang memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Yang kedua, bahwa tidak setiap harta yang dimiliki oleh seorang, ada zakat. Oleh karena itu, rasulullah shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam menafikan beberapa harta yang dimiliki oleh seorang menafikan zakat, tidak ada zakat padanya. Seperti seorang memiliki kuda, seorang memiliki budak, rasulullah 'alaihi shallatu wasallam mengatakan:
Berarti disana ada harta-harta yang tidak terkena padanya zakat. Ini juga yang harus diperhatikan.
Kemudian yang ketiga bahwa, biasanya ketetapan diwajibkannya zakat itu pada harta-harta yang berkembang. Makanya istilah az zakah, dari kata zaka yazku, artinya an namaa', sesuatu yang berkembang. Yang berkembang, maka disitu ada zakat, seperti emas, perak, terdapat padanya zakat. Demikian pula yang menduduki kedudukan emas dan perak dari mata uang yang berlaku di setiap negara, rupiah, dollar, riyal, ringgit, dan yang lainnya. Maka itu menduduki kedudukan emas atau perak, karena memiliki hukum yang sama dengan hukum emas dan perak, yang dijadikan sebagai alat tukar menukar dalam perdagangan.
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, tentang zakat al khulii, zakat perhiasan. Ditinjau dari satu sisi bahwa itu emas, sehingga dia termasuk dalam keumuman ayat dan hadits yang memerintahkan untuk mengeluarkan zakat dari emas dan perak. Namun ditinjau dari sisi yang lain, bahwa harta tersebut tidak berkembang, hanya dijadikan perhiasan. Oleh karena itu, sebagian para ulama mengatakan bahwa tidak ada zakat pada perhiasan emas dan perak.
Namun yang lebih shahih, wallahu a'lam dan lebih berhati-hati, dan itu fatwa dari al allamah Muhammad Amin Asy Syinqithi, demikian pula Ibnu Utsaimin, Ibnu Baz, dan yang lainnya bahwa terdapat padanya zakat apabila mencapai nishab dan bertahan selama setahun dalam hitungan hijriyah. Berdasarkan hadits seorang wanita yang datang bersama anak wanitanya dalam keadaan anak wanita ini memakai gelang, dua gelang dari emas. Maka rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya:
Maka ia menjawab "tidak", maka nabi shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam mengatakan:
Maka dia langsung melepaskan gelang tersebut dan mengatakan "Keduanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan rasul-Nya"
Maka, lebih berhati-hati bahwa zakat emas yang digunakan untuk perhiasan bagi para wanita. apabila mencapai nishab dan bertahan selama setahun hijriyah, maka dikeluarkan padanya zakat. Demikian pula dalam hal unta, dengan nishab yang telah ditentukan oleh rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila mencapai lima ekor, maka dikeluarkan satu ekor kambing. Setiap kelipatan lima, satu ekor kambing, sampai mencapai duapuluh lima ekor, baru satu ekor unta. Dengan hitungan yang telah disebutkan dari hadits Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.
Demikian pula sapi, termasuk kerbau, kambing, dengan berbagai jenisnya, maka ini ditetapkan padanya zakat. Adapun yang lainnya, yang tidak disebutkan dalil tentang adanya kewajiban zakat, maka kita tidak diperbolehkan mewajibkan zakat pada harta seseorang kecuali berdasarkan dalil. Seperti misalnya tanah, tanah tidak ada zakat. Sebanyak apapun tanah itu, kecuali apabila tanah tersebut diperdagangkan, sehingga dia termasuk ke dalam zakat 'uruudhut tijarah. 'Uruudhut tijarah, zakat dari barang dagangan barulah ditetapkan adanya zakat. Kalau dia berniat untuk memperjual belikan, Kapan dia mulai meniatkan memperjual belikan tanahnya, maka di saat itu dia mulai menghitung. Apabila bertahun-tahun masih tersisa barang-barang dagangan tersebut, dia menghitung apabila mencapai nishab, maka wajib baginya mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.
Namun kalau dia hanya menyimpannya, mungkin nanti akan diberikan kepada ahli waris atau yang semisalnya, meskipun bertahun-tahun, seluas apapun, asal hukumnya tidak ada zakat. Demikian pula rumah, rumah tidak ada zakat, mobil tidak ada zakat. Seseorang memiliki sekian banyak rumah, tidak ada zakat. Kecuali apabila rumah tersebut diperdagangkan, seorang jual rumah, maka ini termasuk dalam permasalahan zakat barang dagangan. Namun kalau hanya untuk sebagai penyimpanan, di masa mendatang, untuk keluarganya, untuk keturunannya, maka tidak ada zakat. Mobil tidak ada zakat, kecuali jika diperdagangkan. Barangsiapa yang mengatakan ada zakat dalam harta-harta tersebut, maka hendaknya dia mendatangkan dalil.
Bagaimana dengan rumah yang disewakan, yang dikontrakkan? Rumah yang dikontrakkan tidak ada zakat, namun hasil kontrakkannya itu yang dihitung. Hasil kontrakan rumah tersebut, apabila dihitung kemudian mencapai nishab, bertahan selama setahun, maka dikenakan padanya zakat sebesar 2,5%. Wallahu a'lam bishawab.
Download Audio disini
Afwan ustadz, ana mau tanya. Apabila ana mempunyai tanah, rumah, dan harta yang apabila dihitung dengan nilai emas, telah mencapai nishab, apakah wajib dikeluarkan zakatnya? Jazakallaahu khoiron.
Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah
Wa anta jazakallaahu khoiron. Ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, yang perlu kita ketahui dalam permasalahan zakat, bahwa asal hukum harta seorang muslim adalam haram untuk diambil kecuali dengan cara yang haq. Kecuali dengan cara yang haq, maka tidak diperbolehkan mewajibkan pada harta seorang muslim, bahwa di dalam harta tersebut terdapat zakat kecuali dengan dalil. Karena permasalahan zakat, masalah ibadah. Dan ibadah hukumnya tauqifiyah, tidak menetapkan pada suatu harta terdapat padanya zakat kecuali dengan dalil dari kitabullah dan dari sunnah rasul shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam.
Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya, maka ini menyebabkan seorang memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Jangan kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil" (QS An-Nisa: 29)Yang kedua, bahwa tidak setiap harta yang dimiliki oleh seorang, ada zakat. Oleh karena itu, rasulullah shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam menafikan beberapa harta yang dimiliki oleh seorang menafikan zakat, tidak ada zakat padanya. Seperti seorang memiliki kuda, seorang memiliki budak, rasulullah 'alaihi shallatu wasallam mengatakan:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
"Bahwa tidak ada kewajiban zakat atau shadaqah pada harta seorang muslim, budaknya demikian pula kudanya" (HR. Bukhari no. 1464)Berarti disana ada harta-harta yang tidak terkena padanya zakat. Ini juga yang harus diperhatikan.
Kemudian yang ketiga bahwa, biasanya ketetapan diwajibkannya zakat itu pada harta-harta yang berkembang. Makanya istilah az zakah, dari kata zaka yazku, artinya an namaa', sesuatu yang berkembang. Yang berkembang, maka disitu ada zakat, seperti emas, perak, terdapat padanya zakat. Demikian pula yang menduduki kedudukan emas dan perak dari mata uang yang berlaku di setiap negara, rupiah, dollar, riyal, ringgit, dan yang lainnya. Maka itu menduduki kedudukan emas atau perak, karena memiliki hukum yang sama dengan hukum emas dan perak, yang dijadikan sebagai alat tukar menukar dalam perdagangan.
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, tentang zakat al khulii, zakat perhiasan. Ditinjau dari satu sisi bahwa itu emas, sehingga dia termasuk dalam keumuman ayat dan hadits yang memerintahkan untuk mengeluarkan zakat dari emas dan perak. Namun ditinjau dari sisi yang lain, bahwa harta tersebut tidak berkembang, hanya dijadikan perhiasan. Oleh karena itu, sebagian para ulama mengatakan bahwa tidak ada zakat pada perhiasan emas dan perak.
Namun yang lebih shahih, wallahu a'lam dan lebih berhati-hati, dan itu fatwa dari al allamah Muhammad Amin Asy Syinqithi, demikian pula Ibnu Utsaimin, Ibnu Baz, dan yang lainnya bahwa terdapat padanya zakat apabila mencapai nishab dan bertahan selama setahun dalam hitungan hijriyah. Berdasarkan hadits seorang wanita yang datang bersama anak wanitanya dalam keadaan anak wanita ini memakai gelang, dua gelang dari emas. Maka rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya:
أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا
"Apakah engkau mengeluarkan zakat dari harta ini?"Maka ia menjawab "tidak", maka nabi shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam mengatakan:
أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ
"Apakah engkau ingin, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memakaikan (pada hari kiamat, -red) dua gelang dari gelang neraka?"Maka dia langsung melepaskan gelang tersebut dan mengatakan "Keduanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan rasul-Nya"
Maka, lebih berhati-hati bahwa zakat emas yang digunakan untuk perhiasan bagi para wanita. apabila mencapai nishab dan bertahan selama setahun hijriyah, maka dikeluarkan padanya zakat. Demikian pula dalam hal unta, dengan nishab yang telah ditentukan oleh rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila mencapai lima ekor, maka dikeluarkan satu ekor kambing. Setiap kelipatan lima, satu ekor kambing, sampai mencapai duapuluh lima ekor, baru satu ekor unta. Dengan hitungan yang telah disebutkan dari hadits Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.
Demikian pula sapi, termasuk kerbau, kambing, dengan berbagai jenisnya, maka ini ditetapkan padanya zakat. Adapun yang lainnya, yang tidak disebutkan dalil tentang adanya kewajiban zakat, maka kita tidak diperbolehkan mewajibkan zakat pada harta seseorang kecuali berdasarkan dalil. Seperti misalnya tanah, tanah tidak ada zakat. Sebanyak apapun tanah itu, kecuali apabila tanah tersebut diperdagangkan, sehingga dia termasuk ke dalam zakat 'uruudhut tijarah. 'Uruudhut tijarah, zakat dari barang dagangan barulah ditetapkan adanya zakat. Kalau dia berniat untuk memperjual belikan, Kapan dia mulai meniatkan memperjual belikan tanahnya, maka di saat itu dia mulai menghitung. Apabila bertahun-tahun masih tersisa barang-barang dagangan tersebut, dia menghitung apabila mencapai nishab, maka wajib baginya mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.
Namun kalau dia hanya menyimpannya, mungkin nanti akan diberikan kepada ahli waris atau yang semisalnya, meskipun bertahun-tahun, seluas apapun, asal hukumnya tidak ada zakat. Demikian pula rumah, rumah tidak ada zakat, mobil tidak ada zakat. Seseorang memiliki sekian banyak rumah, tidak ada zakat. Kecuali apabila rumah tersebut diperdagangkan, seorang jual rumah, maka ini termasuk dalam permasalahan zakat barang dagangan. Namun kalau hanya untuk sebagai penyimpanan, di masa mendatang, untuk keluarganya, untuk keturunannya, maka tidak ada zakat. Mobil tidak ada zakat, kecuali jika diperdagangkan. Barangsiapa yang mengatakan ada zakat dalam harta-harta tersebut, maka hendaknya dia mendatangkan dalil.
Bagaimana dengan rumah yang disewakan, yang dikontrakkan? Rumah yang dikontrakkan tidak ada zakat, namun hasil kontrakkannya itu yang dihitung. Hasil kontrakan rumah tersebut, apabila dihitung kemudian mencapai nishab, bertahan selama setahun, maka dikenakan padanya zakat sebesar 2,5%. Wallahu a'lam bishawab.
Download Audio disini