Nasehat dan bimbingan dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah (fiqh)
Tanya:
Apakah ketika shalat dua raka'at seperti shalat subuh ketika tasyahhud harus duduk iftirasy? Karena ana lihat ikhwan duduk iftirasy ketika shalat subuh dan di pondok lain tidak seperti itu yang biasa ana lihat?
Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah
Masalah khilafiyah, masalah ijtihad. Dan walhamdulillah, kita membiasakan para ikhwan, membiasakan santri, dalam perkara-perkara ijtihad silahkan mereka mengamalkan apa yang menurut mereka lebih menenangkan, lebih mendekati yang rajih menurut mereka, silahkan. Dan itulah yang diajarkan oleh para ulama. Kita tidak pernah mengilzam, mengharuskan satu fiqh dalam setiap permasalahan. Kita mengambil fiqh hambali misalnya, atau fiqh syafi'i, tidak sama sekali. Tidak diperbolehkan ta'ashub dalam hal-hal yang seperti ini. Seorang melihat mana yang lebih rajih, setelah dia melihat dalil-dalil para fuqaha, maka diamalkan apa yang menurutnya lebih mendekati kebenaran.
Diantara ikhwan, ada yang bersedekap setelah ruku', ada yang tidak, silahkan. Dalam hal ini tidak diperbolehkan seorang saling sesat-menyesatkan. Atau ada yang ketika duduk pada shalat dua raka'at, ada yang duduk tawarruk, ada yang duduk iftirasy, kita mengatakan silahkan, mana yang menurut antum lebih menenangkan, amalkan! Masing-masing ada madzhabnya, masing-masing ada alasannya. Ada yang ketika tasyahhud, menggerakkan jari telunjuknya, ada yang tidak, silahkan amalkan mana yang menurut antum lebih mendekati kebenaran tanpa harus merendahkan yang lain, atau sampai kepada kesesatan, tabdi, atau membid'ahkan yang lain, tidak. Ini masalah khilafiyah dan ijtihadiyah. Yang dalam hal ini wajib bagi kita berlapang dada dalam menerima adanya perselisihan tersebut.
Ini ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, jadi tidak ada sikap fanatik, harus mengikuti madzhab ustadz. Kamu kalau menyelisihi ustadz, sesat lho kamu! Kadang-kadang, subhanallah seorang kagum kepada seorang ustadznya. Sehingga apa yang dilihat dari ustadznya, itu yang diikuti tanpa dia mengetahui dalilnya. Ini tidak diperbolehkan, ini ashobiyah, ini fanatik. Fanatik di dalam islam madzmum (tercela). Kalaulah diperbolehkan fanatik, mending kita fanatik kepada Imam Syafi'i daripada kepada ustadz, ustadz pondok pesantren, mending kepada Imam Syafi'i yang lebih banyak ilmunya. Mending kepada Imam Ahmad, mending kepada Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Umar bin Khathab, Abu Bakr Ash Shiddiq, iya kan? Yang mereka jelas lebih utama, lebih mulia.
Namun tidak diperbolehkan ta'ashub kecuali kepada Rasulillah Shallallahi 'Alaihi Wasallam. Ta'ashub ini ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, penyakit ummat. Disebabkan karena dia belajar misalnya kepada seorang guru, kagum. Masya Allah, guru ana ini tidak ada duanya sudah! Kadang-kadang mutasyabi' bi ma lam yuuto, dia memberi sifat kepada gurunya, sesuatu yang dia tidak miliki. Kadang-kadang seperti itu, saking kagumnya dia kepada seorang guru. Baru belajar kepada gurunya:
"Subhanallah, ini guru saya hafal kutubus sittah. Hafal kutubus sittah, Bukhari, Muslim, Abu Daud, An Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah". Masya Allah, padahal tidak demikian.
"Subhanallah, si fulan, guru saya ini hafal sepuluh qiro'ah dari qiro'at". Masya Allah, padahal tidak demikian.
Jangan seperti itu ma'asyaral ikhwah rahimakumullah. Jangan sampai kecintaan, kekaguman kita kepada seseorang menyebabkan kita tuli dan buta. Kata orang Arab:
"Kecintaan kamu kepada seorang menjadikan kamu tuli dan buta"
Jangan seperti itu! Hilangkan ashobiyah! Jangan seperti mereka yang fanatik pada satu madzhab! Ada seorang fanatik pada madzhab Imam Syafi'i sampai dia mengatakan:
"Saya seorang bermadzhab Syafi'i. Selama saya hidup, saya bermadzhab Syafi'i, maka wasiatku kepada ummat, agar hendaknya mereka bermadzhab Syafi'i"
Hambali juga begitu akhirnya, Hanafi, Maliki, akhirnya yang muncul ta'ashub. Yang ini laki-laki yang bermadzhab Syafi'i tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Hambali. Masya Allah, ini perpecahan. Oleh karena itu ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, para imam adalah orang-orang yang kita cintai, namun kebenaran itu lebih besar daripada para imam tersebut. Ini para imam, apalagi terhadap seorang yang diketahui seorang ustadz. Mungkin dia kagum, tapi ketika terjadi penyimpangan, terjatuh kedalam kesesatan, dan para ulama sudah mentahdzir, kibarul ulama. Maka yang wajib adalah kembali kepada nasehat dan wasiat para ulama. Na'am sebesar apapun orang tersebut.
Download Audio disini
Apakah ketika shalat dua raka'at seperti shalat subuh ketika tasyahhud harus duduk iftirasy? Karena ana lihat ikhwan duduk iftirasy ketika shalat subuh dan di pondok lain tidak seperti itu yang biasa ana lihat?
Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah
Masalah khilafiyah, masalah ijtihad. Dan walhamdulillah, kita membiasakan para ikhwan, membiasakan santri, dalam perkara-perkara ijtihad silahkan mereka mengamalkan apa yang menurut mereka lebih menenangkan, lebih mendekati yang rajih menurut mereka, silahkan. Dan itulah yang diajarkan oleh para ulama. Kita tidak pernah mengilzam, mengharuskan satu fiqh dalam setiap permasalahan. Kita mengambil fiqh hambali misalnya, atau fiqh syafi'i, tidak sama sekali. Tidak diperbolehkan ta'ashub dalam hal-hal yang seperti ini. Seorang melihat mana yang lebih rajih, setelah dia melihat dalil-dalil para fuqaha, maka diamalkan apa yang menurutnya lebih mendekati kebenaran.
Diantara ikhwan, ada yang bersedekap setelah ruku', ada yang tidak, silahkan. Dalam hal ini tidak diperbolehkan seorang saling sesat-menyesatkan. Atau ada yang ketika duduk pada shalat dua raka'at, ada yang duduk tawarruk, ada yang duduk iftirasy, kita mengatakan silahkan, mana yang menurut antum lebih menenangkan, amalkan! Masing-masing ada madzhabnya, masing-masing ada alasannya. Ada yang ketika tasyahhud, menggerakkan jari telunjuknya, ada yang tidak, silahkan amalkan mana yang menurut antum lebih mendekati kebenaran tanpa harus merendahkan yang lain, atau sampai kepada kesesatan, tabdi, atau membid'ahkan yang lain, tidak. Ini masalah khilafiyah dan ijtihadiyah. Yang dalam hal ini wajib bagi kita berlapang dada dalam menerima adanya perselisihan tersebut.
Ini ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, jadi tidak ada sikap fanatik, harus mengikuti madzhab ustadz. Kamu kalau menyelisihi ustadz, sesat lho kamu! Kadang-kadang, subhanallah seorang kagum kepada seorang ustadznya. Sehingga apa yang dilihat dari ustadznya, itu yang diikuti tanpa dia mengetahui dalilnya. Ini tidak diperbolehkan, ini ashobiyah, ini fanatik. Fanatik di dalam islam madzmum (tercela). Kalaulah diperbolehkan fanatik, mending kita fanatik kepada Imam Syafi'i daripada kepada ustadz, ustadz pondok pesantren, mending kepada Imam Syafi'i yang lebih banyak ilmunya. Mending kepada Imam Ahmad, mending kepada Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Umar bin Khathab, Abu Bakr Ash Shiddiq, iya kan? Yang mereka jelas lebih utama, lebih mulia.
Namun tidak diperbolehkan ta'ashub kecuali kepada Rasulillah Shallallahi 'Alaihi Wasallam. Ta'ashub ini ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, penyakit ummat. Disebabkan karena dia belajar misalnya kepada seorang guru, kagum. Masya Allah, guru ana ini tidak ada duanya sudah! Kadang-kadang mutasyabi' bi ma lam yuuto, dia memberi sifat kepada gurunya, sesuatu yang dia tidak miliki. Kadang-kadang seperti itu, saking kagumnya dia kepada seorang guru. Baru belajar kepada gurunya:
"Subhanallah, ini guru saya hafal kutubus sittah. Hafal kutubus sittah, Bukhari, Muslim, Abu Daud, An Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah". Masya Allah, padahal tidak demikian.
"Subhanallah, si fulan, guru saya ini hafal sepuluh qiro'ah dari qiro'at". Masya Allah, padahal tidak demikian.
Jangan seperti itu ma'asyaral ikhwah rahimakumullah. Jangan sampai kecintaan, kekaguman kita kepada seseorang menyebabkan kita tuli dan buta. Kata orang Arab:
"Kecintaan kamu kepada seorang menjadikan kamu tuli dan buta"
Jangan seperti itu! Hilangkan ashobiyah! Jangan seperti mereka yang fanatik pada satu madzhab! Ada seorang fanatik pada madzhab Imam Syafi'i sampai dia mengatakan:
"Saya seorang bermadzhab Syafi'i. Selama saya hidup, saya bermadzhab Syafi'i, maka wasiatku kepada ummat, agar hendaknya mereka bermadzhab Syafi'i"
Hambali juga begitu akhirnya, Hanafi, Maliki, akhirnya yang muncul ta'ashub. Yang ini laki-laki yang bermadzhab Syafi'i tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Hambali. Masya Allah, ini perpecahan. Oleh karena itu ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, para imam adalah orang-orang yang kita cintai, namun kebenaran itu lebih besar daripada para imam tersebut. Ini para imam, apalagi terhadap seorang yang diketahui seorang ustadz. Mungkin dia kagum, tapi ketika terjadi penyimpangan, terjatuh kedalam kesesatan, dan para ulama sudah mentahdzir, kibarul ulama. Maka yang wajib adalah kembali kepada nasehat dan wasiat para ulama. Na'am sebesar apapun orang tersebut.
Download Audio disini